Kamis, 14 Agustus 2008

ABU HAMMAM AS SYAHRONI

Beliau seorang pemuda yang datang dari daerah Madinah, lima kilo di selatan Kerajaan Arab Saudi. Beliau tumbuh diatas ketaatan kepada Allah. Sejak kecil beliau telah tekun mengikuti halaqoh hafalan Al Qur’an al Karim. Beliau sangat tenang penampilannya, rendah diri, lembut perangainya, bersih hatinya yang itu membedakan beliau dengan teman-teman lainnya.

Ketika terjadi tragedy Bosnia Herzegovia, beliau pada saat itu baru berumur dua puluh tahun. Beliau selalu mengikuti berita-berita tentang penderitaan yang dialami saudara-saudaranya – seiman -, dan beliau berkehendak mendatangi mereka dengan semampu beliau.

Pada suatu hari beliau duduk-duduk dengan seorang temannya membincangkan kesedihan mereka tentang tragedi yang terjdi di Bosnia dan keduanya ingin pergi bergabung dalam jihad di negeri itu.

Benar ….. keduanya bertekad untuk berangkat, lalu kedunya mengikuti berita-berita bagaimana caranya bisa sampai ke negeri tersebut. Sampai mendapatkan jalan menuju kesana lalu kedunya pergi ke Kroasia melalui jalan dalam. Akan tetapi Kroasia menolak keduanya dan tidak mempersilahkan mereka masuk, maka keduanya pun kembali dengan perasaan sedih dan gundah gulana, matanya berlinang air mata. Kemudian mereka mencoba kedua kalinya untuk bisa masuk ke bumi Bosnia.

Dengan izin Allah keduanya dapat masuk ke Bosnia pada akhir bulan Jumadil akhir pada tahun 1415 H.

Sampailah teman ini di kantor mujahidin dan mereka – para mujahidin – adalah orang yang berakhlak mulia dan mendalam agamanya. Kedua teman itu pergi ke sebuah Kamp latihan – muasykar – dan keduanya tadrib disana. Setelah itu keduanya pergi ke Front.

Setiap saat Abu Hammam rohimahullah bercita-cita untuk bisa mendapatkan syahadah dan beliau bersemangat menghafalkan Al Qur’an dan mengulang-ulangnya. Beliau selalu puasa dan sholat malam dan selalu ikut serta dalam ribat selama kurang lebih enam bulan lamanya sampai datanglah musim panas pada tahun 1415 H.

Pada musim itu terjadilah peperangan paling besar yang terjadi di Bosnia yang banyak menewaskan para mujahidin dan musuh-musuh Allah. Pada saat itu pula terjadi peperangan – yang berakhir – kemenangan yang gemilang. Pada saat itu Serbia menguasai puncak gunung dan menguasai strategi perang dan perlindungan mereka pada saat itu sangat kuat. – dengan begitu, hilanglah – semangat – tentara Bosnia dalam melawan Serbia, karena sebelumnya sudah pernah dicoba.

Setelah itu para komandan Bosnia berkumpul – dan bermusyawaroh – bahwa daerah itu tidak bisa ditaklukkan kecuali dengan menggunakan senjata penerbangan yang tidak dimiliki tentara Bosnia. Maka mereka meminta pasukan mujahidin untuk pergi menuju daerah tersebut dan mencoba memenangkan peperangan tersebut.

Benar ….. para singa mujahidin telah datang ke daerah – perang – itu dan tinggal disana beribat selama kurang lebih delapan bulan hingga datanglah hari peperangan.

Para mujahidin dibagi menjadi beberapa kelompok dan setiap kelompok pasti terjadi kisah-kisah yang menarik dan setiap kelompok pasti ada yang syahid.

Abu Hammam rohimahullah berada dalam kelompok yang dipimpin oleh Abu Sa’id Al Falestini. Amaliyat itu dilakukan setelah fajar dan pada waktu itu masih gelap sekali. Salah seorang mujahidin berkata : “Kita tidak bisa menengarai parit yang digunakan berlindung oleh Serbia “.

Mulai pecahlah peperangan dan kami melempar mereka dengan granat maka terbunuhlah tantara Serbia. Akan tetapi parit ini memang menghalangi kita karena digunakan berlindung oleh Serbia. Pada saat itu masih ada seorang Serbia yang belum terbunuh, katika kami maju ke depan tiba-tiba orang Serbia itu menyerang dan datang dari belakang parit maka terbunuhlah Abu Ghorib Al Britoni rohimahullah, dan Serbia juga menyerang lima mujahidin lainnya. Mereka mengira komandan –mujahidin – hendak maju, akan tetapi dengan pertolongan Allah mereka merasa ketakutan dan kegoncangan hingga ia tidak dapat membunuh kelima mujahidin itu.

Dengan semampunya mujahidin pun membalas membunuh mereka hingga Allah memberikan karomah dengan dapat membunuh seorang dari Serbia. Majulah seorang ikhwah mujahidin dan mendapati seorang Serbia yang terluka sedang bersembunyi lalu dia bunuh orang Serbia itu.

Ada kisah yang menakjubkan, bahwa komandan Abu Sa’id Al Falestini menyerbu sendirian ke parit tempat Serbia, disitu ada dua orang, beliau menyerbu sambil bertakbir. Ketika beliau menyerbu kedua orang yang ada disitu, beliau berhadap-hadapan dengan keduanya. Beliau hendak menghabisi keduanya dengan Kalasinkof akan tetapi tidak ada peluru yang keluar satu pun. Kemudian singa Abu Said merobohkan orang Serbia itu dengan memukulkan Kalasinkof ke wajahnya. Dan pada saat itu juga datanglah seorang Serbia yang lain lalu menyerang Abu Said hingga melukai tangan beliau. Dan pada saat itu juga datanglah seorang mujahid dari Yaman yang menyerang orang Serbia itu dengan senjata Al Bika hingga selamatlah Abu Said dengan pertolongan Allah.

Kami maju setelah menuruni parit untuk mendaki ke puncak dua gunung diantara tiga puncak. Pada waktu itu jumlah mujahidin tinggal sedikit karena telah terbunuh dua orang dan banyak yang terluka.

Diantara mereka yang ada dalam pasukan itu harus ada seorang yang menjadi komandan, lalu kepemimpinan itu diserahkan kepada salah seorang ikhwah. Lalu turunlah ia bersama Abu Hammam rohimahullah menuju parit tempat persembunyian Serbia. Disana jumlah orang Serbia banyak sekali. Maka komandan itu dan Abu Hammam mengelilingi parit tersebut dan meluncurkan tembakan ke arah Serbia hingga kocar-kacirlah orang Serbia dari parit. Setelah itu datanglah Abu Hammam dan meminta kepada komandan untuk mengarahkan penglihatannya kepada para syuhada. Diantara mereka yang syahid adalah Abu Abdullah As Syibani, Shofiyuddien Al Yamani dan seorang yang asing – tidak dikenali -. Kemandan itu berkata : “ Jumlah kita sedikit sementara daerah ini membutuhkan penjagaan, maka kamu jangan pergi – tetaplah disini – “. Maka ia memasrahkan – urusan jaga – ini kepada Abu Hammam, dengan syarat beliau – komandan – segera kembali lagi. Kemudian komandan itu pergi meninggalkan tempat itu dan melayangkan pandangan kepada mereka lalu kembali lagi.

Ketika beliau kembali, Abu Sulaiman Al Hadhromi meminta komandan untuk melayangkan pandangannya dan kembali lagi. Maka komandan itu menolak permintaannya hingga kembalilah seorang ikhwah ke parit-parit penjagaan itu. Pada saat itu jatuhlah serangan Roket di dekat ikhwah Hatib Almani hingga mengenai perutnya. Pada waktu yang sekejap meluncurlah serangan Roket yang lain jatuh diantara Abu Hammam dan Abu Sulaiman hingga keduanya terbunuh – semoga Allah merahmati keduanya – dan diterima sebagai syuhada’ di jalan-Nya.

Abu Sulaiman adalah orang yang hafal Al Qur’an. Akhlak dan juga agamanya tidak jauh beda dengan saudaranya “ Abu Hammam “ semoga Allah merahmati keduanya.

Minggu, 10 Agustus 2008

Penipu

  1. gedung tanpa hati
    kursi tanpa rasa
    meja tak berhati
    pena tak bermata

    bicara rasa
    adil makmur
    jargon setan
    di mimbar kampanye

    gedung tak berakal
    dekorasi pajangan instan
    goyah tak berkalbu
    pintu tak bermata

    gedung buram
    kelam dengan seisinya
    jubah-jubah hitam
    mata-mata iblis
    nanar bernafsu
    dengus nafsu iblis

Senja Dibatas Penantian

Jalanan begitu lengang. Hanya beberapa orang tampak mondar-mandir di atas permadani hitam beraspal itu. Tiya memandanginya dengan mata indahnya. Dia asyik duduk melamun di teras rumahnya. Suasana siang itu begitu mebosankan. Udara terasa panas karena beberapa hari ini hujan tidak turun lagi. Paling mendung hanya melintasi kotanya saja. Mata Tiya terpejam menikmati hembusan angin siang itu, panas namun sejuk. Ketika derum mobil terdengar memasuki pelataran rumahnya, buru-buru mata yang terkatup namun tidak tidur itu membuka, melihat dengan seksama siapa yang datang. Ternyata dia adalah Dimas murid asuhnya. Tiya akui dia terlalu sayang pada cowok kecil itu. Dia selalu manja pada Tiya. Datangnyapun selalu aktif dan pastinya urutan nomor satu. Cakep, lucu dan membuat gemes itu sudah tentu. Dan yang mebuat Tiya semakin sayang pada Dimas.bukan hanya karena dia guru les Dimas melainkan karena kemiripan Dimas dengan Johni. Pacarnya yang tak dia tahu dimana rimbanya. Selama lima tahun lewat dia selalu menjomblo dalam penantian. Jujur saja dengan melihat wajah Dimas bagi Tiya semua rasa rindunya pada Johni bisa terlunasi.
“ hai mba “, sapa Dimas renyah menghampiri Tiya. Tiya tersenyum menyambut.
“ sama siapa datangnya ? “, Tanya Tiya.
Dimas menunjuk seseorang yang tengah menutup pintu mobil, berjalan pasti menghampiri Tiya. Tiya melongo tercengang. Johni? Wajah itu begitu menyayat hatinya. Benarkah dia Johni yang selama lima tahun ini meninggalkannya. Mata sebening kristal itu berair.
“ mba Tiya kenalkan ini kak Yoyo, kakaknya Dimas “, ucap Dimas memperkenalkan kakaknya. Segera Tiya tahu lelaki yang bersama Dimas bukanlah Johni kekasihnya. Namanya Yoyo. Tiya memang hampir tak mempercaiyainya, tapi melihat keasingan sikap lelaki itu Tiya menjadi yakin dia bukanlah Johni. Tiya mengedip-ngedipkan matanya berusaha menahan air hangat di matanya agar tidak jatuh. Tiya perlahan menjabat tangan itu. Membalas senyuman yang begitu manis , semanis senyum yang sekian tahun hilang dan tak pernah dia lihat lagi.
“ mata kamu kenapa kok berair gitu? “tanya Yoyo ramah mengetahui titik air kecil di mata Tiya.
“ oh..cuma kelilipan.”, jawab Tiya.
“ tidak menyangka ya kamu memang benar-benar cantik. Dimas sering cerita banyak tentang kamu. Begitu bangganya dia memiliki guru les secantik dan sebaik kamu.”
Tiya hanya tersenyum menyertai mendengar pujian ikhlas Yoyo.
“ karena Dimas murid asuh saya, jadi sudah sewajarnya jika saya menyayangi dia”
“ kamu tahu tidak gara-gara kamu cinta Dimas terbagi untukmu dan untuk keluargaku, bahkan mungkin takaran timbangannya lebih berat ke kamu dari pada ke keluargaku”, canda Yoyo. Kali ini Tiya tertawa renyah sambil melirik Dimas disampingnya.
“ ok tiya, kalau begitu aku nitip Dimas ke kamu. Aku sedang ada urusan.”, pamit Yoyo kemudian.
“ iya, hati-hati di jalan “, pesan Tiya.
Yoyo tersenyum sesaat dan melangkah pasti menuju Marcynya. Tiya terpaku menatap berlalunya mobil itu. Sungguh Tiya tak percaya jika Tuhan begitu megah menciptakan makhluk semirip bentuk dan wajahnya dengan Johni. Tapi sayang semirip apapun wajah Yoyo dia bukanlah Johni.
****


Tiya berpikir resah melamunkan sesuatu. Kedekatannya dengan Yoyo selama ini telah memberikan sesuatu yang sulit dia terka. Kebahagiaan dan kasih sayang tentunya. Tapi apakah mungkin itu semua kenyataan. Bukankah selama ini terasa semu belaka? Bukankah selama ini dia hanya mencintai Johni? Cinta pertamanya yang hilang tanpa jejak. Seandainya Johni tahu betapa Tiya merindukan belaian dan sentuhan lembut Johni. Tiya ingat benar ketika Johni pamitan padanya. Johni akan melanjutkan studynya di London. Dan Johni berjanji akan pulang pada hari ulang tahunnya dengan kado special untuk Tiya. Tapi sampai kini Johni tak menepati janjinya. Tiya benar-benar kehilangan jejak Johni karena Tiya tak tahu dimana alamat rumah Johni, keluarga Johni sudah pindah entah kemana. Tiya ingin sekali menepis bayang Johni untuk selamanya. Tapi dia tak sanggup. Dia tetap saja menanti dan menanti. Sepanjang tahun Tiya menanti Johni akan datang di hari ultahnya tapi selalu saja penantian itu berlalu bersama senja yang selalu berganti dengan fajar. Sampai Tiya memutuskan untuk pindah dari kotanya dan menjadi guru les bahasa inggris di Bandung.
“ tok..tok..” terdengar beberapa ketukan nan pelan namun pasti.
Dengan langkah gontainya Tiya membuka pintu. Di luar dia dapati Yoyo jelmaan wajah Johni.
“ tiya maaf mengganggu, tapi ini sangat mendesak. Aku butuh banget bantuanmu.” Ucap Yoyo buru-buru.
“ bantuan apa?”
“ Dimas sakit. Dia ingin ketemu kamu.”
“ sakit ? “, Tanya Tiya terkejut..
“ iya, badannya panas. Katanya dia bakalan sembuh jika kamu datang “
“ baik, tapi aku ganti baju dulu “, kata Tiya menyanggupi dan berlalu menuju kamarnya.
Tiya hanya duduk di dalam mobil yang melaju itu dengan perasaan was-was. Meski mobil sudah melaju sepuluh menit kedepan Tiya dan Yoyo tak banyak bicara. Mereka hanya saling bisu memikirkan sesuatu yang berbeda.
“ Tiya boleh tidak aku bicara sesuatu ke kamu “, ucap Yoyo membuka suara.
“ tentang apa?”
“ tentang perasaanku ke kamu. Dan aku harap kamu tidak akan marah padaku. Apapun jawabanmu akan aku terima. “ lanjut Yoyo.
Tiya meneliti muka Yoyo serius.
“ sebenarnya jauh di lubuk hatiku ada perasaan hangat setiap kali aku menatap matamu. Memang aku sering tak mengindahkannya., namu ketika aku sadari secara penuh perasaan itu memang nyata adanya. Aku jatuh cinta padamu..”
Tiya terkejut seketika. Menatap tajam mata Yoyo, namun kemudian menunduk. Hatinya terisris mengingat ucapan Johni yang sekarangpun juga diucapkan Yoyo.
“ kamu jangan berfikir yang tidak-tidak tentang ucapanku. Aku bukan menyalahartikan hubungan kita. Aku Cuma mengungkapkan perasaanku. Jika aku menyinggung perasaanmu aku minta maaf. “
“ tidak Yo. Justru aku yang seharusnya meminta maaf karena aku tidak bisa menerima itu semua. “
“kenapa…..??”
“ karena aku…..karena aku hanya mencintai satu orang. Dia kekasihku yang selama lima tahun ini pergi dengan janjinya akan menemuiku. “
“ kamu bersabar menantinya ?”
“ iya aku selalu sabar menantinya. Karena aku tahu aku teramat mencintainya. Aku memang marah dengan kepergiannya tapi aku tidak pernah membencinya ataupun berniat melupakannya. Seumur hidupku cuma dia yang menghuni ruang hatiku “
Yoyo hanya terdiam mendengarkan ucapan sendu tiya yang penuh harap. Sampai mobil telah terparkir di halaman luas rumah Yoyo. Seketika Yoyo dan Tiya turun dari mobil dan masuk ke kamar Dimas. Dan benar nyatanya jika dengan kehadiran Tiya bisa membuat keadaan Dimas membaik. Dimas mau makan dan minum obat. Orang tua Dimas saja sampai tak percaya jika Dimas yang sebadung itu akan takhluk pada Tiya. Seorang guru les yang cantik dan keibuan.
Hampir setengah jam Tiya membesuk Dimas. Diapun segera pamitan pada orang tua Dimas tentunya dengan diantar Yoyo.
Mata Tiya terpaku tajam pada foto yang terpajang di atas buffet. Memang ketika Tiya lewat tadi dia tidak begitu memperhatikannya. Namun kali ini dia dengan seksama meneliti foto tersebut. Foto Yoyo dan seseorang di sampingnya. Seseorang yang berwajah sama seperti Yoyo. Rambut, mata, hidung, bibir dan semua seperti pinang di belah dua.
“ dia siapa Yo ? “, tanya Tiya menununjuk foto tersebut.
“ dia saudara kembarku. Johni. “
Tiya terkejut bukan main. Seolah tak percaya telinganya mendenggar penuturan Johni. Benarkah dia Johni kekasihnya yang menghilang.
“ johni ? “, Tanya Tiya.
“ iya.”
“ sekarang di dimana? “ Tanya Tiya antusias. Namun wajah Yoyo menjadi muram.
“ dia sudah pergi empat tahun yang lalu. Dia kecelakaan dari taksi yang dikendarainya sepulang dari London. Dia bermaksud untuk menemui kekasihnya untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Tapi sayang taksinya bertubrukan dengan truk pengangkut barang. “, jelas Yoyo sendu. Tiya hanya menatap tak berkedip Yoyo.
“ sempat kami mendengar ucapan lirihnya sebelum pergi. Johni menyebut nama Fransiska. Di tangannya dia membawa sebuah liontin yang kukira itu untuk Fransiska “ , lanjut Yoyo dengan mata berkaca. Terlalu sakit dia mengingat kanangan saudara kembarnya Johni.
“ tragis memang nasib Johni, karena aku tidak menyimpan alamat rumah gadis itu. Dia hanya menyimpannya dalam hati. Sampai penguburannyapun Johni tak bertemu dengan gadis itu, gadis yang rencananya akan dikenalkan ke papa dan mama sebagai calon istrinya “ , Yoyo menghentikan ceritanya karena melihat Tiya terpekur di tempatnya. Tiya menangis. Entah apa yang ditangisinya , Yoyo tak mengerti.
“ Tiya kamu kenapa ?’ Tanya oyo.
Dengan segera dia meraih tubuh lemas Tiya dan mendudukkanya di kursi.
“ dia Johniku Yo. Dia kekasihku yang selama lima tahun ini kunanti. Aku sungguh tak mengerti kenapa semua ini harus terjadi. Aku mencintainya Yo..”
“ jadi kamu adalah Fransiska ? gadis yang selalu disebut-sebut Johni sebelum pergi.”
“ iya Yo, Fransiska adalah nama belakangku. Johni selalu memanggilnya begitu. Sungguh aku mencintainya dengan tulus. Aku benar-benar tak mengira jika Johni tidak ingkar janji. Dia menepati janjinya. Demi aku dia harus pergi selama-lamanya. Dia tidak membiarkanku menanti di hari ulang tahunku, nasiblah yang telah membiarkanku tetap menantinya meski setiap detik kurasa menyakitkan. “
Yoyo segera merangkuh tubuh gadis yang bersimbah air mata itu.
“ sudahlah Tiya, ini takdir. Johni pasti bahagia disana karena pernah mencintai gadis sesetia kamu. Meski selama lima tahun dalam penantian kamu tidak pernah lupa pada cinta itu. Aku yakin Johni akan tenang di alamnya sana. “
Sesaat Yoyo melepaskan pelukannya. Dia berjalan menuju kamarnya dan kembali membawa sebuah liontin yang kemudian diberikannya pada Tiya.
“ sebelum Johni meninggal liontin ini ada di tangannya. Ini pasti kado untukmu.yang akan dia berikan pada hari ulang tahunmu dulu “
Tiya menerima liontin itu. Hatinya tersayat bukan main. Segala penantiannya harus dia kubur bersama senja hari itu. Air hangatpun mulai menitik pelan menggenangi kelopak matanya.
“ iya aku tahu liontin ini pasti kado spesial yang dimaksud Johni. Aku tahu dia seorang yang selalu tepat janji, dan sungguh begutu berharganya Johni buatku melebihi apapun di dunia ini. Aku tidak menyesal dengan penantian ini. Sungguh aku tidak menyesal….” Ucap Tiya dengan kalimat pilunya.
Yoyo merengkuh kembali Tiya. Dikecupnya pelan kening Tiya. Andai Johni saudara kembarnya masih hidup, pasti dia akan bahagia memiliki gadis setulus Tiya yang selama bertahun-tahun dengan sabar menatinya meski kekecewaan dan kerinduan bercampur baur dalam lukanya. Seandainya cinta itu ada…. Cinta sebesar dan semegah cinta yang dimiliki Tiya untuk Yoyo seperti cintanya pada Johni. Tapi itu imposible karena hanya ada Johni di hati Tiya. Keagungan cinta Tiya memang tidak bisa ditukar dengan apapun dan tidak pula bisa dihapus dengan berjalannya waktu, karena cinta yang sejati menurut Tiya adalah cinta yang tidak pernah mengenal lelah untuk tetap menanti dalam janji

Bukan Superstar

Andai aku Pasha Ungu
semua wanita kan memburuku
Bila aku Ariel Peterpan
kau yakin ngefans karena urang keren

Sexy badannya.. Mulan Jameela
cantiknya dia seperti aku
Giring Nidji sahabat aku
dekat denganku.. dialah aku..

Tapi kenyataan aku bukan siapa-siapa
kuingin engkau mencintaiku apa adanya

Ku bukan superstar kaya dan terkenal
Ku bukan saudagar yang punya banyak kapal
Ku bukan bangsawan, ku bukan priyayi
Ku hanyalah orang yang ingin dicintai

Haa haa haaa… Haa haa haaa…

Andai ku Letto wis pasti aku wong jowo
Tapi kenyataan aku bukan siapa-siapa
kuingin engkau mencintaiku apa adanya

Ku bukan superstar kaya dan terkenal
Ku bukan saudagar yang punya banyak kapal
Ku bukan bangsawan, ku bukan priyayi
Ku hanyalah orang yang ingin dicintai

Kata orang ku mirip Glenn Fredly
suara merdu, wanita jatuh hati
Namun semua itu hanya mimpi bagimu woohoo~

Jadi… semua itu hanya mimpi?
Ya iya laah… masya ya iya dong
duren aja dibelah bukan dibedong

Ku bukan superstar kaya dan terkenal
Ku bukan saudagar yang punya banyak kapal
Ku bukan bangsawan, ku bukan priyayi
Ku hanyalah orang yang ingin dicintai

Kamu bukan super, kamu bukan setar
Kalo digabungin kamu bukan supersetarr..
Ku bukan bangsawan, ku bukan priyayi
Ku hanyalah orang yang ingin dicintai

Rabu, 16 Juli 2008

PERADILAN RAKYAT

Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."

"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"

"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.

"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."

"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."

"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"

"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."

"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***